WASPADAI BAHAN TAMBAHAN DALAM MAKANAN ANDA

Sabtu, 09 April 2011 10:50 WIB   Program Studi Teknologi Pangan

Semakin maju bangsa, tuntutan dan perhatian terhadap penyediaan pangan secara kuantitas dan kualitas besar sekali. Mereka semakin sadar akan mutu pangan yang dikonsumsi, agar senantiasa sehat kehidupan yang mereka jalani, maka bahan makanan yang dikonsumsi sehari-hari juga harus bergizi dan sehat. 

Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang Pangan RI Nomor 7 Tahun 1996, tentang keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah kondisi pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.

Hingga kini produsen makanan dalam menjalankan bisnisnya dengan segala keterbatasannya masih banyak yang mengabaikan aspek higienis dan kesehatan, sehingga hasil produknya masih beresiko dan berpotensi tinggi terhadap kontaminasi bakteri, virus penyakit berbahaya atau bahan kimia berbahaya, begitu juga penggunaan bahan tambahan/aditif berbahaya (yang tidak boleh dipakai untuk makanan) dan atau bahan tambahan pangan (BTP) sintetik secara berlebihan. Di banyak tempat, penjaja makanan keliling atau warung, sekitar sekolah, terminal, pasar bahkan toserba masih banyak ditemukan makanan-minuman yang mengandung bahan aditif, yang paling sering dipakai adalah zat pemanis, pengawet, penambah cita rasa (MSG, essence)  dan pewarna buatan.

Penggunaan bahan aditif yang melebihi batas ambang pemakaian, dapat  mengakibatkan penyakit karsinogenik (tumor, kanker). Hasil survey terakhir FAO, penyebab kematian pertama di dunia adalah diakibatkan oleh penyakit tumor dan kanker. Pembangunan di bidang teknologi pangan dan kesehatan, diantaranya menjadikan penduduk Indonesia sebagai konsumen yang sadar kesehatan dengan pola makan ”sadar gizi”, bukan ”sadar rasa”. Karena sadar gizi mengarah untuk memilih/membeli makanan yang menyehatkan, bergizi seimbang sesuai kebutuhan tubuh, tidak sekedar mengenyangkan perut apalagi hanya mengutamakan cita rasa saja. 

Hasil survey ditemukan kasus penyakit tekanan darah tinggi banyak dialami oleh masyarakat Asia yang terbiasa mengkonsumsi garam (Na Cl) dengan kadar tinggi dalam makanannya, yaitu 7,6 – 8,2 g / hari, padahal kebutuhan tubuh rata-rata per hari hanya sebesar 2,5 – 3,0 g (jika mengonsumsi 2.500 – 3.000 Kal). Kehadiran natrium klorida dalam produk-produk makanan ringan (snack) juga memberi kontribusi jenis makanan yang berlebihan natrium, yang mungkin menyebabkan hipertensi pada beberapa individu.

Hasil survey yang lain adalah pemakaian zat pewarna dan essence buatan pada makanan-minuman seperti jelly, sari buah, minuman instan, es sirup, cendol, permen, kembang gula (bahasa Jawa: arbanat). Kelompok makanan tersebut juga dicurigai banyak menggunakan zat pemanis buatan sakarin dan siklamat. Padahal makanan-makanan tersebut amatlah sering dikonsumsi anak-anak sekolah, terutama usia taman kanak-kanak dan sekolah dasar, kondisi demikian amatlah merisaukan.

Penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk bahan pangan; misalnya zat pewarna tekstil yang mestinya digunakan untuk benang, kain dan kulit malah dipakai untuk mewarnai bahan makanan. Hal ini sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat dari zat warna tersebut. Munculnya penyalahgunaan bahan tambahan /aditif pangan tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk makanan, para produsen makanan belum memahami akan bahaya bahan aditif  buatan yang digunakan tersebut atau disebabkan karena tidak adanya penjelasan dalam label yang melarang penggunaan senyawa tersebut untuk bahan pangan.


Jika penggunaan bahan aditif buatan tidak diwaspadai bersama, maka secara perlahan kondisi kesehatan masyarakat akan menurun (mengakibatkan berkembangnya penyakit tumor, kanker, gangguan pernapasan, kulit dan lain-lain) karena mengonsumsi berlebihan, secara terus menerus dan tanpa pemantauan secara baik. Disinilah masyarakat kampus atau peneliti dituntut peran aktifnya dalam mencari solusi guna membantu mengatasi permasalahan yang berkembang di masyarakat kita. 

Di negara maju penggunaan zat pewarna alami telah digunakan secara meluas pada makanan seperti produk daging dan unggas, susu, tepung, roti, minuman, bahkan juga pada obat-obatan dan kosmetik, karena dinilai lebih aman.

Zat pewarna alami didapat dari hasil pengembangan antara lain pigmen karotenoid, kurkumin, antosianin dan pigmen lainnya. Pigmen-pigmen tersebut dapat diperoleh dari jaringan buah, bunga, daun, batang maupun akar  dari kelompok tanaman buah, sayuran dan bunga. Dari bagian tanaman (hayati laut maupun daratan) tersebut terbukti selain dapat menyumbangkan pewarna alami juga dapat berfungsi sebagai komponen yang dapat menangkap radikal bebas (sebagai antioksidan) sehingga dapat mengurangi resiko tumor dan kanker. Setiap jenis pigmen tersebut memiliki kelebihan tersendiri, selain sebagai pewarna alami pada produk makanan-minuman dan produk industri lainnya tapi juga membantu dalam dunia kesehatan (makanan, minuman, obat/farmasi) dan kosmetik.

Pigmen klorofil (penyumbang warna alami hijau) dapat diperoleh dari daun pandan betawi/suji, bayam; pigmen antosianin (penyumbang warna oranye, merah dan keunguan) dapat diperoleh dari bunga mawar, turi dan kana merah, buah juwet, strawberi, arbei/ murbei, ubi jalar ungu; pigmen karotenoid (penyumbang warna kuning-oranye-merah) dapat diperoleh dari buah tomat, wortel, pisang, rumput laut merah dan coklat. 

Indonesia amatlah kaya dengan potensi sumberdaya alamnya, tinggal bagaimana pemerintah dan para pemerhati makanan sehat dapat memanfaatkannya secara optimal, kemudian disosialisasikan kepada produsen (bidang pangan, farmasi dan kosmetik) serta masyarakat secara luas. Temuan-temuan tersebut sesuai dengan bunyi ayat suci orang Islam yaitu Al-Qur’an QS 35 ayat 27 : ”Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Alloh menurunkan hujan dari langit, lalu dengan air itu Kami mengeluarkan buah-buahan/ bunga yang beraneka warna ?”, dan QS Asy-Syu’araa/26 ayat 69 : “Dari perut lebah keluar minuman (madu, sebagai sari bunga) bermacam-macam warnanya, yang  di dalamnya terdapat obat bagi manusia”.

Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki bila makanan yang dikonsumsi beragam. Tiap-tiap jenis makanan mempunyai sifat-sifat inderawi seperti cita rasa, tekstur, dan bau, juga mempunyai sifat-sifat kimiawi seperti komposisi zat gizi maupun daya cerna serta manfaat bagi tubuh yang berbeda-beda. Tidak ada satu jenis makanan yang secara tunggal dapat memenuhi kebutuhan manusia akan zat gizi, oleh karenanya perlu dikonsumsi secara bersamaan agar meningkatkan kandungan gizi dan kualitas pigmen yang saling melengkapi dalam menjaga kesehatan tubuh manusia.

Dr. Ir. Elfi Anis Saati, MP.,  Staf Pusat Kajian Makanan Aman dan Halal


Shared: